Sabtu, 06 September 2014

HUKUMAN POKOK & HUKUMAN TAMBAHAN menurut KUHP



Dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) hukuman dibedakan menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan. Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Yang termasuk dalam hukuman pokok yaitu:
a.    hukuman mati,
b.    hukuman penjara,
c.    hukuman kurungan,
d.    hukuman denda.

Yang termasuk hukuman tambahan yaitu:
a.    pencabutan beberapa hak tertentu,
b.    perampasan barang yang tertentu,
c.    pengumuman keputusan hakim.

            Melihat namanya, sudah nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan, tetapi tidaklah harus.

a. Pencabutan Hak-hak Tertentu
 
Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan, hak-hak sipil (perdata), dan hak-hak ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan hak-hak tertentu itu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal :
1.      Tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan keputusan hakim;
2.      Tidak berlaku seumur hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan suatu putusan hakim.
Hakim boleh menjatuhkan pidana pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh undang-undang yang diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317, 318, 334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup.
Hak-hak yang dapat dicabut disebut dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:
1.      Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
Pada pencabutan hak memegang jabatan, dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya, dalam aturan-aturan khusus ditentukan bahwa penguasa lain yang melakukan pemecatan tersebut;
2.      Hak menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
3.      Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;
4.      Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5.      Hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Tentang untuk berapa lama pencabutan-pencabutan hak-hak tertentu itu dapat dilakukan oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah menentukan, bahwa lamanya pencabutan hak adalah :
1.      Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka lamanya pencabutan hak-hak tertentu berlaku seumur hidup;
2.      Jika pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu adalah sama dengan lamanya pidana pokok, yakni sekurang-kurangnya selama dua tahun dan selama-lamanya lima tahun lebih lama dari pidana pokoknya;
3.      Jika pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak-hak tertentu adalah paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun.

b. Perampasan Barang-barang Tertentu

Pidana perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda. Pidana perampasan telah dikenal sejak lama. Para kaisar Kerajaan Romawi menerapkan pidana perampasan ini sebagai politik hukum yang bermaksud mengeruk kekayaan sebanyak-banyaknya untuk mengisi kasnya. Kemudian pidana perampasan muncul dalam WvS Belanda, dan berdasarkan konkordasi dikenal pula dalam KUHP yang tercantum dalam Pasal 39.
Adapun barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1)KUHP , antara lain:
1.      Benda-benda kepunyaan terpidana yang diperoleh karena kejahatan, misal uang palsu;
2.      Benda-benda kepunyaan terpidana yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan dengan sengaja, misal pisau yang digunakan terpidana untuk membunuh.
Sebagaimana prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan (imperatif), misalnya pada Pasal 250 bis (pemalsuan mata uang), Pasal 205 (barang dagangan berbahaya), Pasal 275 (menyimpan bahan atau benda, seperti surat dan sertifikat hutang, surat dagang).
Untuk pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan dirampas untuk negara, dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang tersebut tidak dilakukan sita.
Pada ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di masukkan ke kas negara (Pasal 42 KUHP). Sedangkan apabila kemungkinan kedua yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada Pasal 41 yaitu terpidana boleh memilih apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana tidak mau menyerahkan satu di antara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 30 ayat (2) yang berbunyi Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan.
Di dalam praktik, apa yang disebut pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu seringkali hanya merupakan suatu tindakan pencegahan belaka, yang dilakukan dengan cara merusak atau dengan cara menghancurkan benda-benda yang telah dinyatakan sebagai disita , baik merupakan benda yang telah dihasilkan oleh suatu kejahatan, maupun merupakan benda yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan.
Oleh karena itu, tepatlah kiranya apa yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa, bahwa pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu yang semula telah dimaksud untuk menjadi suatu pidana, seringkali telah berubah fungsinya menjadi politerechtelijke vernietigning, yakni pengrusakan yang dilakukan terhadap barang-barang tertentu yang menurut sifatnya adalah berbahaya, dengan maksud agar benda-benda tersebut jangan sampai dapat digunakan oleh orang lain untuk tujuan-tujuan yang bersifat melawan hukum. Akan tetapi, benda-benda yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi pada umumnya oleh hakim hanya akan dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara tanpa disertai perintah untuk merusak atau memusnahkannya.

c. Pengumuman Keputusan Hakim
Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim antara lain dapat diputuskan oleh hakim bagi para pelaku dari tindak pidana yang telah diatur di dalam Pasal 127, 204, 205, 359, 360, 372, 374, 375, 378, dan seterusnya, serta Pasal 396 dan seterusnya KUHP. Pada umumnya, putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah satu pidana.
Pidana pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut, misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi, dan pembebanan biayanya ditanggung terpidana.
Adapun penjatuhan pidana tambahan ini mempunyai daya kerja yang bersifat mencegah secara khusus, mengingat bahwa penjatuhan pidana tambahan ini akan menyulitkan terpidana untuk kembali melakukan tindak pidana yang sejenis. Di sisi lain, juga membuat terpidana menjadi tidak dapat melakukan kembali tindak pidana yang sejenis di kemudian hari, karena hampir semua orang telah diperingatkan tentang kemungkinan terpidana akan melakukan tindak pidana yang sejenis, apabila ia diterima bekerja di jawatan atau perusahaan manapun atau apabila orang ingin berhubungan dengan terpidana setelah selesai menjalankan pidananya.
Pidana tambahan ini juga mempunyai suatu daya kerja yang bersifat mencegah secara umum, karena setiap orang menjadi tahu bahwa alat-alat negara akan menindak secara tegas, siapapun yang melakukan tindak pidana yang sama seperti yang telah dilakukan oleh terpidana, dan bukan tidak mungkin bahwa perbuatan mereka pun akan disiarkan secara luas untuk dapat dibaca oleh semua orang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar