Dalam KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana)
hukuman dibedakan menjadi dua, yaitu hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Pengaturan ini terdapat dalam Pasal 10 KUHP. Yang termasuk dalam hukuman pokok
yaitu:
a.
hukuman
mati,
b.
hukuman
penjara,
c.
hukuman
kurungan,
d.
hukuman
denda.
Yang
termasuk hukuman tambahan yaitu:
a.
pencabutan
beberapa hak tertentu,
b.
perampasan
barang yang tertentu,
c.
pengumuman
keputusan hakim.
Melihat namanya, sudah
nyata bahwa pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang
dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal
tertentu dalam perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini bersifat
fakultatif, artinya dapat dijatuhkan, tetapi tidaklah harus.
a. Pencabutan Hak-hak
Tertentu
Pidana
tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti hak-hak terpidana
dapat dicabut. Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-hak kehidupan,
hak-hak sipil (perdata), dan hak-hak ketatanegaraan. Menurut Vos, pencabutan
hak-hak tertentu itu ialah suatu pidana di bidang kehormatan, berbeda dengan
pidana hilang kemerdekaan, pencabutan hak-hak tertentu dalam dua hal :
1.
Tidak
bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan keputusan hakim;
2.
Tidak
berlaku seumur hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang dengan
suatu putusan hakim.
Hakim boleh menjatuhkan pidana
pencabutan hak-hak tertentu apabila diberi wewenang oleh undang-undang yang
diancamkan pada rumusan tindak pidana yang bersangkutan. Tindak pidana yang
diancam dengan pencabutan hak-hak tertentu dirumuskan dalam pasal: 317, 318,
334, 347, 348, 350, 362, 363, 365, 372, 374, 375. Sifat hak-hak tertentu yang
dicabut oleh hakim tidak untuk selama-lamanya melainkan dalam waktu tertentu
saja, kecuali apabila terpidana dijatuhi hukuman seumur hidup.
Hak-hak
yang dapat dicabut disebut dalam Pasal 35 KUHP, yaitu:
1.
Hak
memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu
Pada pencabutan hak memegang jabatan,
dikatakan bahwa hakim tidak berwenang memecat seorang pejabat dari jabatannya,
dalam aturan-aturan khusus ditentukan bahwa penguasa lain yang melakukan
pemecatan tersebut;
2.
Hak
menjalankan jabatan dalam angkatan bersenjata/TNI;
3.
Hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan
umum;
4.
Hak
menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali pengawas,
pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5.
Hak
untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Tentang
untuk berapa lama pencabutan-pencabutan hak-hak tertentu itu dapat
dilakukan oleh hakim, Pasal 38 ayat (1) KUHP telah menentukan, bahwa lamanya
pencabutan hak adalah :
1.
Jika
pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana mati atau seumur hidup maka
lamanya pencabutan hak-hak tertentu berlaku seumur hidup;
2.
Jika
pidana pokok yang dijatuhkan hakim berupa pidana penjara sementara atau
kurungan, maka lamanya pencabutan hak itu adalah sama dengan lamanya pidana
pokok, yakni sekurang-kurangnya selama dua tahun dan selama-lamanya lima tahun
lebih lama dari pidana pokoknya;
3.
Jika
pidana pokok yang dijatuhkan adalah pidana denda maka pencabutan hak-hak
tertentu adalah paling sedikit dua tahun dan paling lama lima tahun.
b. Perampasan Barang-barang Tertentu
Pidana
perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti halnya dengan pidana denda.
Pidana perampasan telah dikenal sejak lama. Para kaisar Kerajaan Romawi
menerapkan pidana perampasan ini sebagai politik hukum yang bermaksud mengeruk
kekayaan sebanyak-banyaknya untuk mengisi kasnya. Kemudian pidana perampasan
muncul dalam WvS Belanda, dan berdasarkan konkordasi dikenal pula dalam KUHP
yang tercantum dalam Pasal 39.
Adapun
barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1)KUHP ,
antara lain:
1.
Benda-benda
kepunyaan terpidana yang diperoleh karena kejahatan, misal uang palsu;
2.
Benda-benda
kepunyaan terpidana yang telah digunakan untuk melakukan suatu kejahatan dengan
sengaja, misal pisau yang digunakan terpidana untuk membunuh.
Sebagaimana
prinsip umum pidana tambahan, pidana perampasan barang tertentu bersifat
fakultatif, tidak merupakan keharusan (imperatif) untuk dijatuhkan. Akan
tetapi, ada juga pidana perampasan barang tertentu yang menjadi keharusan
(imperatif), misalnya pada Pasal 250 bis (pemalsuan mata uang), Pasal 205
(barang dagangan berbahaya), Pasal 275 (menyimpan bahan atau benda, seperti
surat dan sertifikat hutang, surat dagang).
Untuk
pelaksanaan pidana perampasan barang apabila barang tersebut ditetapkan
dirampas untuk negara, dan bukan untuk dimusnahkan terdapat dua kemungkinan
pelaksanaan, yaitu: apakah pada saat putusan dibacakan: 1) barang tersebut
telah terlebih dahulu diletakkan dibawah penyitaan, ataukah 2) atas barang
tersebut tidak dilakukan sita.
Pada
ketentuan pertama berarti eksekusi terhadap barang sitaan tersebut dilakukan
pelelangan di muka umum menurut peraturan yang berlaku, dan hasilnya di
masukkan ke kas negara (Pasal 42 KUHP). Sedangkan apabila kemungkinan kedua
yang terjadi maka eksekusinya berdasarkan pada Pasal 41 yaitu terpidana boleh
memilih apakah akan tetap menyerahkan barang-barang yang disita ataukah
menyerahkan uang seharga penafsiran hakim dalam putusan. Apabila terpidana
tidak mau menyerahkan satu di antara keduanya maka harus dijalankan pidana kurungan
sebagai pengganti. Mengenai pidana kurungan pengganti perampasan barang lebih
lanjut dijelaskan dalam KUHP pasal 30 ayat (2) yang berbunyi Jika denda tidak
dibayar, lalu diganti dengan kurungan.
Di
dalam praktik, apa yang disebut pidana tambahan berupa pernyataan disitanya
barang-barang tertentu seringkali hanya merupakan suatu tindakan pencegahan
belaka, yang dilakukan dengan cara merusak atau dengan cara menghancurkan
benda-benda yang telah dinyatakan sebagai disita , baik merupakan benda yang telah
dihasilkan oleh suatu kejahatan, maupun merupakan benda yang telah digunakan
untuk melakukan suatu kejahatan.
Oleh
karena itu, tepatlah kiranya apa yang dikatakan oleh Hazewinkel-Suringa, bahwa
pidana tambahan berupa pernyataan disitanya barang-barang tertentu yang semula
telah dimaksud untuk menjadi suatu pidana, seringkali telah berubah fungsinya
menjadi politerechtelijke vernietigning, yakni pengrusakan yang dilakukan
terhadap barang-barang tertentu yang menurut sifatnya adalah berbahaya, dengan
maksud agar benda-benda tersebut jangan sampai dapat digunakan oleh orang lain
untuk tujuan-tujuan yang bersifat melawan hukum. Akan tetapi, benda-benda yang
mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi pada umumnya oleh hakim hanya akan
dinyatakan sebagai disita untuk kepentingan negara tanpa disertai perintah
untuk merusak atau memusnahkannya.
c. Pengumuman Keputusan Hakim
Pidana
tambahan berupa pengumuman keputusan hakim antara lain dapat diputuskan oleh
hakim bagi para pelaku dari tindak pidana yang telah diatur di dalam Pasal 127,
204, 205, 359, 360, 372, 374, 375, 378, dan seterusnya, serta Pasal 396 dan
seterusnya KUHP. Pada umumnya, putusan hakim harus diucapkan dalam persidangan
yang terbuka untuk umum (pasal 195 KUHAP), apabila tidak maka keputusan tersebut
batal demi hukum. Hal ini berbeda dengan pengumuman putusan hakim sebagai salah
satu pidana.
Pidana
pengumuman putusan hakim ini merupakan suatu publikasi ekstra dari suatu
putusan pemidanaan seseorang dari pengadilan pidana. Jadi dalam pengumuman putusan
hakim ini, hakim bebas untuk menentukan perihal cara pengumuman tersebut,
misalnya melalui surat kabar, papan pengumuman, radio, televisi, dan pembebanan
biayanya ditanggung terpidana.
Adapun
penjatuhan pidana tambahan ini mempunyai daya kerja yang bersifat mencegah
secara khusus, mengingat bahwa penjatuhan pidana tambahan ini akan menyulitkan
terpidana untuk kembali melakukan tindak pidana yang sejenis. Di sisi lain,
juga membuat terpidana menjadi tidak dapat melakukan kembali tindak pidana yang
sejenis di kemudian hari, karena hampir semua orang telah diperingatkan tentang
kemungkinan terpidana akan melakukan tindak pidana yang sejenis, apabila ia
diterima bekerja di jawatan atau perusahaan manapun atau apabila orang ingin
berhubungan dengan terpidana setelah selesai menjalankan pidananya.
Pidana
tambahan ini juga mempunyai suatu daya kerja yang bersifat mencegah secara
umum, karena setiap orang menjadi tahu bahwa alat-alat negara akan menindak
secara tegas, siapapun yang melakukan tindak pidana yang sama seperti yang
telah dilakukan oleh terpidana, dan bukan tidak mungkin bahwa perbuatan mereka
pun akan disiarkan secara luas untuk dapat dibaca oleh semua orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar