Sabtu, 06 September 2014

PERCOBAAN menurut Hukum Pidana




Pada umumnya yang dimaksud dengan percobaan adalah suatu perbuatan dimana:
1.    Ada perbuatan permulaan;
2.    Perbuatan tersebut tidak selesai atau tujuan tidak tercapai;
3.    Tidak selesainya perbuatan tersebut bukan karena kehendaknya sendiri
Sifat Percobaan, terdapat 2 pandangan:
1.    Sebagai Strafausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya orang) sehingga, percobaan tidak dipandang sebagai jenis atau bentuk delik yang berdiri sendiri (delictum sui generis), tetapi dipandang sebgai bentuk delik tidak sempurna (onvolkomendelictsvorm). Dianut: Hazewinkel‐Suringa, Oemar Seno Adji
2.    Sebagai Tatbestandausdehnungsgrund (dasar memperluas dapat dipidananya perbuatan). Sehingga, percobaan dipandang sebagai delik yang sempurna (delictum sui generis)hanya dalam bentuk yang istimewa. Dianut: Pompe, Muljatno
Percobaan adalah suatu usaha untuk mencapai suatu tujuan akan tetapi pada akhirnya tidak ada atau belum berhasil. Percobaan atau poooging diatur dalam Bab IX Buku I KUHP Pasal 53. Dalam KUHP Indonesia tidak dijumpai mengenai rumusan arti atau definisi “percobaan”, yang dirumuskan hanyalah batasan mengenai kapan dikatakan ada percobaan untuk melakukan kejahatan. Yang dapat dipidana, hanyalah percobaan terhadap kejahatan dan tidak terhadap pelanggaran (pasal 54)
Sanksi untuk percobaan berbeda dengan delik yang sempurna. Yakni maksimum pidana yang dijatuhkan terhadap kejahatan yang bersangkutan dikurangi 1/3.
Syarat-syarat untuk dapat dipidananya percobaan adalah sebagai berikut:

  • Niat;
  • Adanya permulaan pelaksanaan;
  • Pelaksanaan tidak selesai bukan semata‐mata karena kehendaknya sendiri; 

Menurut Moeljatno berpendapat bahwa niat jangan disamakan dengan kesengajaan tetapi niat secra potensial bisa berubah menjadi kesengajaan apabila sudah di tunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Pengertiannya :


  • Semua perbuatan yang diperlukan dalam kejahatan telah dilakukan tetapi akibat yang dilarang tidak timbul
  • Kalau belum semua ditunaikan menjadi perbuatan maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada percobaan.
  • Oleh karena niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan maka isinya niat jangan diambil dari sisi kejahatannya apabila kejahatan timbul untuk itu diperlukan pembuktian tersendiri bahwa isi yang tertentu jadi bahwa sudah ada sejak niat belum ditunaikan.
  • Harus ada permulaan pelaksanaan pasal 53, hal ini tidak dicantumkan: Permulaan pelaksanaan.
  • Menurut mut harus diartikan dengan permulaan pelaksanaan dengan kejahatan. 

Jenis-jenis dalam percobaan terdiri atas :
1. Percobaan selesai atau percobaan lengkap (violtooid poging)
Adalah suatu suatu percobaan apabla sipembuat telah melakukan kesengajaan untuk menyelesikan suatu tindak pidana tetapi tdak terwujud bukan atas kehendaknya. Contoh : seorang A menembak B tetapi meleset.
2. Percobaan tertunda atau Percobaan terhenti atau tidak lengkap (tentarif poging)
Adalah suatu percobaan apabila tidak semua perbuatan pelaksanaan disyaratkan untuk selesainya tindak pidana yang dilakukan tetapi karena satu atau dua yang dilakukan tidak selesai. Contoh : A membidikan pistolnya ke B dan dihalangi oleh C
3. Percobaan tidak mampu (endulig poging)
Adalah suatu percobaan yang sejak dimulai telah dapat dikatakan tidak mungkin untuk menimbulkan tindak pidana selesai karena :
o   Alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah tidak mampu
o   Obyek tindak pidana adalah tidak mampu baik absolut maupun relative
Oleh karena itu dikenal 4 bentuk percobaan tidak mampu :
o   Percobaan tidak mampu yang mutlak karena alat yaitu suatu percobaan yang sama sekali menimbulkan tindak pidana selesai karena alatnya sama sekali tidk dapat dipakai.
o   Percobaan mutlak karena obyek yaitu suatu percobaan yang tidak mungkin menimbulkan tindak pidana selesi kaena obyeknya sama sekali tidak mungkin menjadi obyek tindak pidana.
o   Percobaan relatif karena alat yaitu karena alatnya umumnya dapat dipai tetapi kenyataanya tidak dapat dipakai.
o   Percobaan relatif karena obyek yaitu apabila subyeknya pada umumnya dapat menjadi obyek tindak pidana tetapi tidak dapat menjadi obyek tindaka pidana yang bersangkutan.
4. Percobaan yang dikualifikasikan
Yaitu untuk melakukan suatu tindak pidana tertentu tetapi tidak mempunyai hasil sebagaimana yang dirahakan, melainkan perbuatannya menjadi delik hukum lain atau tersendiri.

PENGGELEDAHAN menurut Hukum Pidana



 Pasal 32 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentan Hukum Acara Pidana atau KUHAP menyatakan “Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang ini”. Dari ketentuan pasal ini, penggeledahan dibagi menjadi dua jenis, yaitu penggeledahan rumah dan penggeledahan pakaian atau badan.

PENGGELEDAHAN RUMAH
Pasal 1 angka 17 KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan, menurut cara yang diatur dalam undang-undang. Dari pasal ini juga diketahui bahwa tujuan penggeledahan rumah adalah untuk melakukan tindakan pemeriksaan, melakukan tindakan penyitaan, dan melakukan tindakan penangkapan.

PENGGELEDAHAN BADAN ATAU PAKAIAN
Pasal 1 angka 18 KUHAP menyebutkan bahwa yang dimaskud dengan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan daban dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang di duga keras ada pada badannya atau dibawanya, untuk disita. Pemeriksaan badan atau pakaian ini hanya bertujuan mencari benda-benda yang tersembunyi di dalam badan untuk di sita. Adapun benda yang dicari tersebut haruslah yang berhubungan erat dengan tindak pidana yang disangkakan atau yang dituduhkan.

Dalam tindakan penggeledahan, yang berhak melakukannya adalah penyelidik atas perintah penyidik dan penyidik sendiri. Penyelidik dalam hal ini adalah setiap anggota Kepolisian Republik Indonesia, yang dalam penggeledahan rumah atau badan hanya dapat bertindak atas perintah dari penyidik (Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP). Sementara itu, karena kewenangan yang diberikan oleh KUHAP, penyidik dapat melakukan penggeledahan sendiri terkait dengan perkara yang ditanganinya (Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP). Namun, dalam melakukan tindakan penggeledahan ada syarat-syarat formal yang wajib dipenuhi oleh penyidik.

Berdasarkan Pasal 33 KUHAP, sebelum melakukan tindakan penggeledahan, khususnya penggeledahan rumah, penyidik wajib menunjukan surat izin dari pengadilan negeri setempat dan berita acaranya dalam jangka waktu dua hari. Namun berdasarkan Pasal 34 KUHAP, jika dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dulu, penyidik harus menunjukan surat penggeledahan yang ditandatangani oleh kepala satuan atau penyidik sendiri atau penyidik pembantu.

Saat melakukan penggeledahan rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi, jika tersangka atau penghuni menyetujui tindakan penggeledahan tersebut. Namun, jika pihak tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir, tindakan penggeledahan tersebut harus disaksikan oleh kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi.

Dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol : Skep/1205/IX/2000 terdapat hal-hal khusus yang harus diperhatikan terkait masalah penggeledahan badan dan penggeledahan pakaian, sebagai berikut :

  • Penggeledahan badan, khususnya terhadap wanita, dilakukan oleh penyidik/pemyidik pembantu wanita atau dapat meminta bantuan seorang wanita yang dapat dipercaya.
  • Jika perlu dilakukan pemeriksaan penggeledahan rongga badan dapat diminta bantuan pejabat kesehatan/paramedis.
  • Penggeledahan pakaian, harus dilakukan di ruang tertutup atau minimal tidak dilakukan di depan umum.
Dengan begitu, seorang wanita yang akan digeledah, khususnya pada bagian rongga badan dapat menolak untuk digeledah/diperiksa jika penyidik/penyidik pembantunya bukanlah seorang wanita.

Setelah melakukan penggeledahan, penyidik wajib memeberikan berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan.

PraPeradilan dalam Hukum Pidana



Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutuskan tentang :

a.       Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ;
b.      Sah tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas permintaan yang berkepentingan demi tegaknya hukum dan keadilan ; dan
c.       Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.

Hal mana tentang Praperadilan tersebut secara limitatif umumnya diatur dalam pasal 77 sampai pasal 83 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Sebenarnya upaya pra-peradilan tidak hanya sebatas itu, karena secara hukum ketentuan yang mengatur tentang pra-pradilan menyangkut juga tentang tuntutan ganti kerugian termasuk ganti kerugian akibat adanya “tindakan lain” yang di dalam penjelasan pasal 95 ayat (1) KUHAP ditegaskan kerugian yang timbul akibat tindakan lain yaitu, kerugian yang timbul akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.

Sehingga dalam konteks ini pra-peradilan lengkapnya diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 KUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s/d 46, pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132 KUHAP.

Dalam konteks ini pra peradilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, atau tentang sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, atau tentang permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi, akan tetapi upaya pra-pradilan dapat juga dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. ( Vide : Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982 ), atau akibat adanya tindakan lain yang menimbulkan kerugian sebagai akibat pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.

Sejauh ini yang kita kenal pra-peradilan sering dilakukan oleh tersangka atau keluarga tersangka melalui kuasa hukumnya dengan cara melakukan Gugatan/Permohonan Praperadilan terhadap pihak Kepolisian atau terhadap pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri setempat, yang substansi gugatannya mempersoalkan tentang sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan atau tentang sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.

Namun sesungguhnya praperadilan secara hukum dapat juga dilakukan pihak Kepolisian terhadap pihak Kejaksaan, begitu juga sebaliknya. Perlu untuk diketahui bahwa pasal 77 s/d pasal 83 KUHAP yang mengatur tentang Praperadilan tidak hanya memberikan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mempraperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal tersebut juga memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan dan memberi hak kepada Kejaksaan untuk mempraperadilankan Kepolisian.

Praperadilan adalah hal yang biasa dalam membangun saling kontrol antara Kepolisian, Kejaksaan dan Tersangka melalui Kuasa Hukumnya atau menciptakan saling kontrol antara sesama penegak hukum. Dalam negara hukum yang berusaha menegakkan supremasi hukum sangat diperlukan suatu lembaga kontrol yang independen yang salah satu tugasnya mengamati/mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu perkara pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3 atau SKPPP (Devonering), apalagi yang dilakukan secara diam-diam.

Di samping itu diharapkan juga pihak Kepolisian dapat mengontrol kinerja Kejaksaan apakah perkara yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan. Begitu juga pihak Kejaksaan diharapkan dapat mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan perkara pidana apakah perkara yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan akhirnya oleh penyidik perkara tersebut benar-benar dilimpahkan ke Kejaksaan atau malah berhenti secara diam-diam.

Di dalam era supremasi hukum ini sudah saatnya dibangun budaya saling kontrol, antara semua komponen penegak hukum ( Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat ) agar kepastian hukum benar-benar dapat diberikan bagi mereka para pencari keadilan.

Batas Waktu Penyidik untuk menindak lanjuti Laporan



 Mengenai batas waktu atau jangka waktu yang dimiliki oleh penyidik atau untuk menindaklanjuti laporan tersebut, maka jawabannya adalah tidak ada.  Akan tetapi, terdapat Peraturan Kapolri No. 12 Tahun  2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan POLRI (“Perkap No. 12 Tahun 2009”), yang mengatur mengenai batas waktu pemeriksaan dan penyelesaian perkara, sebagai berikut:

1.      Pertama kali terkait batas waktu menyerahkan Laporan yang dibuat di Sentra Pelayanan Kepolisian, yakni.

Pasal 11
(1) Laporan Polisi yang dibuat di SPK WAJIB segera diserahkan dan harus sudah diterima oleh Pejabat Reserse yang berwenang  untuk mendistribusikan  laporan paling lambat 1 (satu) hari setelah Laporan Polisi dibuat. 
(2)Laporan Polisi yang telah diterima oleh pejabat reserse yang berwenang
(3)Laporan Polisi sebagaimana dimaksud, selanjutnya HARUS sudah disalurkan keapda penyidik yang ditunjuk untuk melaksanakan penyidikan perkara paling lambat 3 (tiga) haris sejak Laporan Polisi dibuat.

Pasal 18: Terhadap perkara yang merupakan sengketa antara pihak yang saling melapor kepada kantor polisi yang berbeda, penanganan perkaranya dilaksanakan oleh kesatuan yang lebih tinggi atau kesatuan yang dinilai paling tepat dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi.

2.      Proses berikutnya setelah laporan adalah kegiatan penyelidikan dan batas waktu melaporkan hasil penyelidikan, yang diatur dalam Pasal 26 Perkap No. 12 Tahun 2009, sebagai berikut:

(1) Penyelidik yang melakukan kegiatan penyelidikan wajib melaporkan hasil penyelidikan secara lisan atau tertulis kepada atasan yang memberi perintah pada kesempatan  pertama.

(2) Hasil penyelidikan secara tertulis dilaporkan dalam bentuk LHP paling lambat 2(dua) hari setelah berakhirnya masa penyelidikan kepada pejabat yang memberikan perintah.

3.      Proses setelah laporan hasil penyelidikan adalah melakukan tindakan penyidikan.  Pasal 33 dan Pasal 34 Perkap No. 12 Tahun 2009 menyatakan bahwa “Setiap tindakan penyidikan wajib dilengkapi surat perintah Penyidikan.  Penyidik yang telah mulai melakukan tindakan penyidikan wajib membuat SPDP.”

4.      Perkap No. 12 Tahun 2009 selanjutnya mengatur mengenai batas waktu penyelenggaraan penyidikan sebagai berikut:

Pasal 31
(2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung sejak diterimanya Surat Perintah Penyidikan meliputi:
a.      120 hari untuk penyidikan perkara sangat sulit
b.      90 hari untuk penyidikan perkara sulit
c.      60 hari untuk penyidikan perkara sedang
d.      30 hari untuk penyidikan perkara mudah

 (3) Dalam menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Perintah Penyidikan. 
 (4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.

Pasal 32: 
 (1) Dalam hal batas waktu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik, maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui pengawas penyidik.

5.      Dalam hal kepolisian tidak menindaklanjuti laporan, atau jika ada ketidakpuasan atas hasil penyidikan, maka Pelapor atau saksi dapat mengajukan surat pengaduan atas hal tersebut kepada atasan Penyelidik atau Penyidik atau badan pengawas penyidikan, agar dilakukan koreksi atau pengarahan oleh atasan penyelidik/penyidik yang bersangkutan.

Dalam rancah hukum pidana, daluwarsa diatur untuk pengaduan, penuntutan, menjalankan pidana dan upaya hukum lainnya, tetapi tidak diatur daluwarsa untuk menindaklanjuti laporan. Menurut Pasal 74 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), masa daluwarsa mengajukan pengaduan ke kepolisian adalah:



  1. Enam (6) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan yang dilakukan itu, bila ia berada di Indonesia;
  2. Sembilan (9) bulan setelah yang berhak mengadu mengetahui perbuatan itu dilakukan, bila ia berada di luar negeri